Sabtu, 30 Juli 2011

Dari Gandrung hingga Dangdut Koplo


Mulo..ojo kari seru seru Mikiri kembang hang nyoto nyoto sing ono Mugo ojo kari keroso roso.. Tuwas kesekso batin lan raga riko isun wes urip nang alam hang bedo alam isun yo dudu alam duniyo...
Lagu Suworo, kolaborasi etnik Banyuwangi dan rock dangdut, ini dilantunkan artis lokal, Reny Farida. Sekitar 2.000 muda-mudi yang memadati lapangan Tembok Rejo, Kecamatan Muncar Banyuwangi, asik berjoget. Kemeriahan pementasan tersebut sampai- sampai memakan korban satu jiwa karena tawuran antar penonton.
Perpaduan lagu etnik Banyuwangi dengan irama rock dangdut bukan hanya pada lagu Suworo karya Triyono Hadi (Yons D.D.), tapi juga puluhan lagu lainnya. Bahkan bukan cuma dengan dangdut. Musisi lainnya memadukannya dengan rock alternatif, disko, house music, hingga dangdut koplo.

Tren baru ini sudah terjadi selama dua tahun terakhir. Perdebatan pun mengalir. Tapi mereka yang mencoba bertahan pada keaslian musik tradisional setempat harus berhadapan dengan gencarnya tuntutan pasar.
Fatrah Abal, tokoh senior pencipta lagi tradisional, menilai pencampuradukan itu sebagai kemunduran karena keluar dari pakem. Ciri khas lagu Banyuwangi tidak mengenal notasi fa dan si, tapi lazim dimulai dengan la, do, re, mi, sol, la. Jenis lagu ini disebut Selendro. “Pada lagulagu kolaborasi, cita rasa Banyuwangi- nya menjadi berkurang,” sesal musisi yang lagunya pernah dibawakan Nini Karlina dan Ikke Nurjanah ini (lihat boks: Fatrah yang Kian Gelisah).
Lagu-lagu dalam kesenian Gandrung, seperti Seblang Lukinto, Sekar Jenang, dan Podho Nonton, menjadi cikal-bakal kemunculan lagu etnik Banyuwangi. Beberapa kelompok seniman lalu membuat syair- syair yang dinyanyikan tanpa refrain, seperti lagu berjudul Keriping Sawi dan Keok-keok. Lagu Banyuwangi yang disebut Setrek pertama kali diiringi musik setelah angklung ditemukan pada 1920.
i
Setrek angklung mengalami perubahan yang lebih dinamis sejak 1955, bersamaan dengan munculnya Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra), organisasi sayap Partai Komunis Indonesia (PKU). Lagu Genjer-genjer, yang pernah dilarang semasa Orde Baru, adalah karya seniman Banyuwangi, Mohamad Arif. Lagu ini bercerita tentang penderitaan masyarakat setempat semasa penjajahan Jepang.
Setelah itu, musik Banyuwangi sempat tiarap pada 1966 dan baru muncul kembali sekitar 1973, ditandai perkembangan baru bernama Kendhang Kempul. Disebut demikian karena menonjolkan alat musik kendang, kempul, dan suling. Tercatat nama Sutrisno sebagai penciptanya.

Musisi Banyuwangi terus bergerak. Pada 2000-an muncul apa yang disebut Patrol Orkestra Banyuwangi (POB), yang memadukan alat musik tradisional patrol dengan musik elektrik. Nama Catur Arum dan Yons D.D. melambung. Karyanya terjual hingga 100 ribu kopi lebih dalam bentuk kaset. Sejak saat itulah sebenarnya musik etnik tradisional mulai bergeser ke arah modern
Penikmatnya bukan hanya masyarakat lokal, tapi meluas hingga berbagai daerah, seperti Bali, Malang, Surabaya hingga Jakarta. Situs- situs musik di Internet juga menyajikannya.
Geliat itu didukung menjamurnya rumah rekaman, seperti Safari Record, Sandi Record, Scorpio Record, Fista Jaya Record, dan Gemini Record. Artis-artis baru bermunculan. Ada Reny Farida, Dian Ratih, Adistya Mayasari, Mia M.S., Lisa Rahmawati, Virgia Hasan, dan puluhan lainnya.
Yons awalnya memegang teguh idealisme dalam menciptakan lagu. Namun, kemauan pasar dan tuntutan ekonomi membuatnya lebih fleksibel. “Kalau ngotot bertahan, dapur saya tidak ngepul,” kata pria kelahiran 24 April 1963 ini. Tapi Yons mensyaratkan, hanya mau lagunya dikolaborasikan setelah lagu tradisional aslinya dirilis.
Bagi Indra Wijaya, pemilik rumah rekaman Safari Record, munculnya musik perpaduan tradisional dengan modern tidak serta-merta meninggalkan budaya asli Banyuwangi. Penjualan album tradisional dengan modern, toh, tidak jauh berbeda. Rata- rata terjual 50 ribu keping VCD. “Munculnya tren baru tidak bisa dibatasi, bahkan menunjukkan dinamisnya musisi Banyuwangi,” kata Indra, yang mendirikan Safari Record pada 1986 dan sudah memproduksi 100 album lagu Banyuwangi.
Simak saja penuturan Farid Irawan. Bagi anak muda ini upaya melestarikan lagu-lagu asli Banyuwangi dan memberikan ruang gerak perpaduan dengan musik modern harus sama-sama jalan.
Apalagi, di pasaran, kaset atau keeping VCD lagu tradisional masih bisa ditemukan. “Kalau cuma pakai patrol, angklung, atau kendang kempul, membosankan,” katanya. Lagu-lagu Banyuwangi saat ini jauh lebih menarik, lebih cocok untuk anak muda, dan lebih hidup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

He lare kadung riko duwe komentar nang isun ojo sungkan-sungkan tulisen paran anane baen ya !