Senin, 01 September 2008

BANYUWANGI SEJUTA RUJAK

BANYUWANGI, khususnya Desa Kemiren, juga memiliki berbagai jenis makanan khas. Salah satu makanan khasnya adalah rujak. Rujak yang ada sangat beragam. Konon, saking banyaknya, Banyuwangi sempat dijuluki sebagai ‘kota sejuta rujak’.
Jenis rujak di Banyuwangi sebenarnya hanya dua macam, rujak buah dan rujak lontong sayur. Dua jenis rujak ini memiliki keunikan yang beragam, tergantung kemasan penyajiannya. Nama rujak buah juga unik. Di antaranya, rujak cemplung, rujak ini terbuat dari berbagai jenis buah seperti mangga, mentimun, nenas, bengkoang, dan jeins buah lainnya. Dinamakan ‘cemplung’ karena buah-buahan yang telah dicacah dimasukkan dalam cairan air cuka yang sangat pedas dan masam. Di-cemplung-kan berarti dimasukkan.

Ada rujak iris. Rujak ini juga terbuat dari buah-buahan. Cara pembuatannya, buah diiris rapi kemudian dicampur bumbu yang terbuat dari air gula merah dan asam. Ada juga jenis rujak kecut. Rujak ini bahan dasarnya buah-buahan. Bedanya, buah yang sudah diiris dicampur saus kacang ditambah sedikit petis udang.
Yang paling populer dan menjadi santapan idola kini adalah rujak soto. Rujak ini baru muncul sekitar tahun 1975. Awalnya, rujak ini modifikasi rujak lontong sayur.
Rujak soto pertama kali dibuat Usni Solihin, ibu rumah tangga yang gemar memasak. Dari kegemaran memasak inilah, Usni yang sempat membuka warung di salah satu kompleks SMA mencoba mencampurkan rujak dan soto. Hasilnya, mengejutkan. Rujak ini memiliki rasa khas sayuran dicampur soto yang beraroma daging hangat.
Awalnya, penemuan itu tidak mendapat respons masyarakat. Lambat laun Usni menyempurnakan penemuannya itu. Akhirnya, penemuan yang spektakuler itu mampu menjadikan namanya melejit. Rujak soto makin dikenal dan digemari, bahkan bukan hanya di kalangan warga osing.

Perbedaan antara rujak biasa dan rujak soto terletak pada penggunaan petis udang. “Rujak biasa petisnya harus banyak. Tapi rujak soto tidak usah pakai petis. Ini rahasianya,” ujar Usni.
Sejak ditemukannya rujak soto, menambah daftar makanan khas di Banyuwangi. Karena itu, tidak heran jika warung milik Usni yang terletak di pojok jalan Kelurahan Banjarsari, Kecamatan Glagah, selalu ramai pengunjung. Tiap hari dia harus menyediakan 4 kg kacang tanah untuk bahan saus rujak. Di warungnya Usni membuat rujak tetap menggunakan cara tradisional. Ketika dia membuat rujak semua bahan tetap diuleg dengan tagannya sendiri. “Kalau pakai blender saya tidak bisa menjamin rasa rujaknya,” tururnya.

Kini warung rujak soto milik Usni bukanlah satu-satunya di Banyuwangi. Hampir di tiap sudut kota bisa ditemukan warung yang menyediakan menu rujak soto.
Rujak soto pernah diikutkan Festival Makanan Nusantara di Jakarta, Malang, Surabaya, dan selalu menempati peringkat tertinggi. Kini rujak soto seolah menjelma menjadi makanan populer dengan harga yang sangat terjangkau.
Makanan khas lainnya adalah beraneka jenis camilan, mulai dari aneka krupuk, sale pisang, bagiak hingga rengginang. Menariknya, camilan ini dikolaborasi dengan berbagai jenis rasa, mulai dari rasa cumi, tahu, kerang dan banyak lagi. Tiap toko oleh-oleh umumnya memberikan layanan jasa antar hingga ke luar pulau.
Yang perlu dilirik lagi adalah banyaknya jenis kerajinan ciri khas warga osing. Kerajinan yang paling banyak adalah terbuat dari anyaman bambu. Berbagai jenis perabot rumah tangga, seperti tas, baki, tempat kue dan lainnya, semuanya dibentuk rapi dari anyaman bambu. Barang kerajinan ini juga mudah didapatkan dan harganya relatif murah. - udi

WISATA ALAM MERU BETIRI

Wisata sekaligus Mempertahankan
Kelestarian Penyu

www. eastjawa .com
Teluk Hijau di Meru Betiri dengan pondokan sederhana untuk wisatawan
(atas).

BANYUWANGI – USAI beduk maghrib, tepatnya pukul 18.32 petang, langkah Wartono tampak menyusuri jalan setapak yang membelah hutan lindung Pantai Sukamade. Kedua tangan pria asal Sumedang yang telah 12 tahun mengabdikan diri sebagai petugas Jaga Wana Taman Nasional Meru Betiri itu tampak menenteng lampu baterai dan ember plastik.

Sebelum meneruskan langkahnya, Wartono mampir ke kamar tiga rekannya yang mondok di cottage sebelah Kantor Taman Penyu Sukamade. Berempat mereka menyusuri kegelapan malam, membelah hutan lindung menuju bibir Pantai Sukamade. Tidak sampai 40 menit, kaki keempat pria itu menjejak pasir pantai Sukamade di tepian Samudera Indonesia. Mereka lantas mematikan lampu baterai. Nyala bara api di puntung rokok keempat pria itu pun dimatikan. Yang tersisa, hanyalah kerlipan cahaya bintang. Dalam penerangan alam, keempat pria itu berpencar. Mereka menyusuri bibir pantai, menjejak tapak kaki penyu. Sejurus kemudian, terdengar siulan panjang dari arah tenggara. Di situlah, Wartono memberi semacam isyarat morse kepada kawannya, Wartono, telah menemukan jejak langkah sang penyu. Berempat mereka menyusuri tepian langkah penyu. Begitu, terlihat punggung penyu, Wartono mengajak kawannya menunggu sampai sang penyu selesai membuat lubang telur. Tanpa bicara, Wartono menghabiskan waktu 70 menit hanya untuk menunggui sang penyu menyelesaikan mengeruk lubang telur.


Di saat menunggu itulah, Wartono menyempatkan memberi isyarat kepada kawannya yang berada di Penginapan Kebun Ledokombo untuk segera merapat ke pantai. Saat bersamaan, kawannya itu sedang menjamu dua pasang wisatawan asal Denmark. Tampak pula bergabung, sebelas orang wisatawan lokal. Mendapat isyarat Wartono, rombongan wisatawan itu bergegas menuju dua unit jeep Rocky milik Taman Nasional Meru Betiri. Meski hanya berjarak 6 km dari Penginapan Kebun Ledokombo, tapi perjalanan mobil menuju pintu gerbang Pantai Sukamade butuh waktu 40 menit. Maklum, jalan menuju ke kawasan pantai Sukamade rusak berlubang. Lubang itu menjebak dan memperlambat perjalanan. ”Kondisi jalan yang rusak dengan lubang menganga ini, sengaja kami pertahankan. Jika diperbaiki, akan mengundang kawanan pencuri telur penyu,” kata Ismanto, yang bertugas mengawal wisatawan.

Sesampainya, di pantai Sukamade, Ismanto memberi isyarat kepada Wartono. Dan, serombongan wisatawan itu, hanya diizinkan bergerombol 100 meter dari arah sang penyu yang hendak bertelur. Begitu melihat sang penyu terdiam tak mengipaskan keempat kakinya, Wartono pun mengangkat langkahnya ke arah binatang berpunggung keras itu. ”Sekarang, boleh menyalakan lampu baterai,” katanya, memberi isyarat pada serombongan wisatawan untuk mendekat ke tempat ”petarangan” sang penyu.

Takut Cahaya

”Dalam bulan Juni, tak banyak penyu bertelur. Lain lagi, pada bulan Agustus dan November. Saban malam, dua sampai empat ekor penyu bertelur bersamaan,” jelas Wartono kepada para wisatawan. Ada yang aneh di saat penyu bertelur. Hewan yang hidup di dua alam itu, tampak tenang tak terganggu dengan cahaya lampu baterai. Bahkan, tak silau oleh nyala lampu blitz kamera. Namun, cahaya sekecil apapun akan membuat penyu kembali ke tengah laut dan mengurungkan bertelur, jika ada cahaya lampu saat dia sedang berjalan ke darat untuk membuat lubang telur.
Melihat penyu bertelur, kelompok wisatawan tampak berebut mengabadikan lewat kamera fotonya maupun handycam. Mereka saling bergantian menyentuh punggung keras sang penyu. Inilah atraksi kasih sayang antara manusia dengan sang penyu. Begitu selesai bertelur, sang penyu kembali beraktivitas. Keempat kakinya, bergantian mengipas pasir ke arah lubang ”petarangan” telurnya. Menutup lubang sedalam 60 cm, memang memakan waktu. Penyu yang usianya sekitar 25 tahun itu, perlu waktu 35 menit untuk menutup lubang telur.
Setelah itu, sang hewan langka itu pun mengayunkan langkahnya ke arah laut lepas. ”Kami yang bertugas di sini, wajib mengawal penyu hingga ke bibir laut. Jika tidak, terkadang penyu terjebak potongan kayu atau tergelincir hingga terbalik. Kecelakaan itu, bisa menewaskan penyu,” ujar Wartono.
Setelah yakin berenang ke laut, Wartono pun kembali ke arah kawan-kawannya yang sedang menggali lubang telur. Lubang yang sebelumnya ditandai tonggak bambu itupun, digali perlahan. Wartono pun memimpin menghitung telur. Sekali bertelur, penyu mampu bertelur 140 hingga 200 butir. Tengah malam itu pula, telur penyu itu dibawa Wartono ke bangunan semacam bunker. Di dalamnya, tampak terlihat 112 ember plastik penuh telur penyu. Tampak pula lima ember besar berisi air laut, yang di dalamnya terdapat tukik (anak penyu) usia sepekan.
”Jika ada wisatawan, kami akan melepas tukik ke tengah laut. Tak jarang, wisatawan ikut mengangkat ember dan melepas tukik ke pasir pantai,” tutur Wartono. Dan, pelepasan tukik itu merupakan sebuah atraksi lain yang cukup memikat para wisatawan.
(str/arif purbadi)

PENGANTIN OSING

PENGANTIN OSING BANYUWANGI

Salah satu masyarakat yang hidup di Jawa Timur yang cukup menarik tradisi perkawinannya adalah masyarakat Osing Banyuwangi. Disebut menarik karena masyarakat Osing Banyuwangi dikenal sebagai masyarakat yang memiliki kebudayaan campuran. Ini tampak pada busana pengantinnya yang terpengaruh gaya Jawa, Madura, Bali, bahkan pengaruh dari suku lain di luar Jawa. Di lingkungan masyarakat Osing Banyuwangi berlaku adat perkawinan dengan melalui tahap-tahap sebagai berikut:

Tahap Perkenalan

Tahap perkenalan merupakan tahap penjajakan antara dua kekasih. Pada tahap ini bisa saja terjadi, hubungan antara kedua kekasih terpaksa harus putus karena sesuatu sebab. Akan tetapi ada pula yang berlangsung hingga ke jenjang perkawinan. Apabila tahap ini dapat berlangsung dengan mulus, tanpa ada rintangan, maka di lanjutkan tahap selanjutnya, yaitu tahap meminang.

Tahap Meminang

Menurut adat yang berlaku di lingkungan masyarakat Banyuwangi, meminang dilakukan pihak laki-laki. Biasanya bila suatu keluarga yang memiliki anak laki-laki telah menyetujui gadis pilihannya, maka dilakukan pinangan dengan menyuruh orang lain untuk meminang calon menantunya. Orang suruhan ini bisa dari keluarga dekatnya sendiri ataupun dari orang lain yang dipercaya. Sebelum dilakukan pinangan biasanya pihak laki-laki akan memberitahukan kepada pihak perempuan terlebih dahulu. Saat lamaran pihak laki-laki datang dengan membawa seperangkat pakaian wanita sebagai tanda ikatan antara kedua pasang kekasih. Lamaran atau pinangan ini sebenarnya hanya bersifat formalitas saja. Pada saat pertemuan ini, akah dibicarakan bersama-sama hari jadi atau pelaksanaan upacara perkawinan serta masalah-masalah lain yang berhubungan dengan pelaksanaan upacara perkawinan. Dari hasil pembicaraan antara kedua belah pihak, apabila ternyata pihak perempuan, dari segi ekonomi tidak mampu untuk mengadakan upacara, maka pihak laki-laki akan ” ngleboni ” atau memberi bantuan untuk pelaksanaan perkawinan anaknya. Sebaliknya apabila pihak laki-laki ternyata tidak mampu, maka pihak iaki-laki ” nglundung semprong saja.

Tahap Peresmian Perkawinan

Peresmian perkawinan atau upacara perkawinan merupakan klimaks sekaligus inti adat perkawinan. Oleh karena itu, pihak penyelenggara upacara akan mempersiapkan upaaara secara matang dan khusus. Pelaksanaan upacara perkawinan di lingkungan masyarakat Osing Banyuwangi terlihat sebagai paduan antara upacara yang bersifat agamis dengan upacara tradisional. Bagi pemeluk agama Islam, akan silakukan Upacara Ijab Khobul sebagai salah satu syarat sahnya perkawinan menurut agama Islam. Sebagai tanda sahnya perkawinan tersebut, mereka akan memperoleh surat nikah yang dikeluarkan oleh Kantor Agama setempat. Selain dari tahap-tahap tersebut di atas, masyarakat Osing Banyuwangi, juga mengenal adat perkawinan yang cukup menarik, yaitu: Adu Tumper dan Perang Bangkat.

Adat Perkawinan Adu Tumper

Adat perkawinan adu tumper dilakukan sehubungan dengan adanya kepercayaan masyarakat Osing Banyuwangi yang melarang melakukan perkawinan antara sepasang pengantin yang berstatus sebagai anak sulung di lingkungan keluarganya masing-masing. Apabila perkawinan tersebut tetap dilakukan, maka dipercaya dapat berakibat pasangan pengantin baru itu akan banyak mengalami halangan dan rintangan dalam mengarungi hidupnya. Akan tetapi, apabila disebabkan oleh sesuatu hal, kemudian perkawinan antara sepasang pengantin yang berstatus anak suXung tetap harus dilakukan, maka untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, secara adat dilakukan upacara Adu Tumper saat upacara temon berlangsung.

Adat Perkawinan Perang Bangkat

Adat perkawinan perang bangkat, juga merupakan rangkaian dari upacara temon pengantin anak bungsu. Bisa kedua-keduanya anak bungsu atau salah satu dari kedua pengantin tersebut adalah anak bungsu. Tentunya tidak dilakukan untuk perkawinan anak sulung, anak kedua dan seterusnya. Adat perang bangkat, masih dipertahankan masyarakat Osing Banyuwangi hingga saat ini.

Pakaian Adat Osing Banyuwangi

Berbicara tentang pakaian adat pengantin Osing Banyuwangi, cukup menarik. Apabila kenyataan tertumpu pada kenyataan yang sekarang. Tidak jauh berbeda dengan masyarakat lain, kendatipun sebagian besar masyarakat Osing berdomisili di daerah pedesaan, tetapi karena letak desa - desa yang banyak dihuni masyarakat Osing di daerah banyuwangi ini tidak terlalu jauh dari kota Banyuwangi, maka pengaruh modernisasi, utamanya yang berhubungan dengan adat perkawinan dan pakaian pengantinnya telah masuk pula ke pedesaan. Gejala yang terlihat adalah adanya kecenderungan pengantin gaya Solo atau Yogyakarta. Keinginan ini tidak terlalu sulit diwujudkan karena banyak juru paes pengantin yang siap dengan pakaian tersebut.

Bila diperhatikan dengan seksama, bagian - bagian dari pakaian pengantin tradisional masyarakat Osing Banyuwangi menunjukkan adanya campuran antara pakaian pengantin Jawa, pakaian tradisional Madura, Bali dan luarJawa. Pengantin pria memakai kuluk seperti kuluk yang dipakai pengantin Jawa. Pengantin laki - laki atau perempuan dilengkapi dilengkapi dengan asesoris berupa gelang atau binggel seperti yang digunakan oleh para wanita dari masyarakat Madura. Asesoris untuk hiasan kepala pengantin wanita bentuknya mirip dengan pakaian penari Bali. Baik pengantin pria ataupun wanita mengenakan kain sarung pelekat yang dibuat dari bahan sutera baik berasal dari Bugis Makasar maupun dari Samarinda. Jelas bahwa pakaian asli pengantin tradisional Masyarakat Osing Banyuwangi sebagai hasil dari peminjaman kebudayaan.

Sisi lain yang tidak kurang menariknya adalah terjadinya kesepakatan sebagai upaya melakukan perubahan dari busana pengantin tradisional tersebut. Karena sesuatu sebab, beberapa orang yang merasa punya tanggung jawab terhadap masalah kebudayaan, khususnya kebudayaan Banyuwangi, telah berhasil menciptakan pakaian pengantin tradisional masyarakat Osing Banyuwnagi. Cara yang dilakukan adalah memodifikasi pakaian pengantin yang pernah ada di lingkungan dengan menghilangkan bagian - bagian yang dirasakan sudah ketinggalan jaman, misalnya meninggalkan kebiasaan memakai kaca mata hitam baik untuk pengantin pria maupun pengantin wanita.

Gagasan memodifikasi pakaian pengantin tradisional masyarakat Osing Banyuwangi merupakan penemuan baru dan sebagai penambah pengetahuan. Hal ini dilakukan dengan maksud mengangkat martabat masyarakat Osing Banyuwangi sekaligus sebagai upaya lebih memasyrakatkan salah satu hasil budaya masyrakat Banyuwangi, yaitu berupa batik tulis dengan motifnya yang khas disebut motif gajah holing. Pakaian pengantin tradisional masyarakat Osing Bnayuwangi ini cukup baik bila dilihat dari segi motivasinya, terutama bagi masyarakat Bayuwangi pada umumnya. Tetapi dari sisi lain, sebenarnya merugikan, karena secara tidak sengaja telah menghilangkan sesuatu yang cukup unik sebagai ciri khas dari masyarakat Osing itu sendiri yaitu suatu masyarakat yang memiliki budaya campuran, akan kabur karena salah satu bukti yang dapat dilihat dengan jelas di antaranya adlah mengamati pakaian pengantin tersebut.

Sumber : http://www.petra.ac.id

BASA USING

Basa Osing utawa Using kuwi dipituturake ing tlatah Banyuwangi utawa kang biasa kasebut Blambangan. Osing asale saka tembung sing kang artine ora. Tembung iki saka basa Bali: tusing. Asline basa Osing iki salah sijine varian basa Jawa kuna kang tansah dituturke ning Banyuwangi. Akeh uga tetembungan karo pengaruhe Basa Bali, Basa Medhura lan ana kadang Basa Inggris.

Masyarakate ya ndhuwe seni budhaya kang bedha karo pendhudhuk Jawa liyane. Akeh para cendikiawan kang ngutarake yen Basa Osing iku sejatine cabangan langsung saka Basa Kawi ora ngliwati dhadi basa Jawa dhisik. Dhadi kasuse padha karo Basa Minang lan Basa Melayu sing sebagian ngomong saka Basa Melayu lan sebagian liyane ngomong yen Minang kuwi basa dhewe.

Basa utawa dhialek Osing iki dituturke ning kira-kira separuh wilayah Banyuwangi. Wong utawa Lare Using biasane manggon ning :

  • Sebagian Genteng
  • Cluring
  • Srono
  • Kalipuro
  • Glagah
  • Giri
  • Sebagian kutha Banyuwangi
  • Sebagian Muncar
  • Rogojampi
  • Sebagian Gambiran

Yen kecamatan liyane lumrahe nganggo Basa Jawa biasa utawa Medhura. Cara Using uga ditemokake ning wilayah Jember lan Lumajang sanajan cacahe sethithik banget.

Pangucapan

Pangucapan ning Basa utawa dhialek Using Banyuwangen iki radha bedha karo dhialek Jawa liyane. Misale abjad vokal ning pungkasan ukara diwaca bedha. Upami :

  • (u) kawacan (au)
  • (i) kawacan (ai)
  • (o) kawacan (ao)
  • (e) kawacan (ae)
  • (oo) kawacan (aoo)

Ukara :

  • biru dhadi (birAu)
  • gedhigi dhadi (gedhigAi)
  • soto dhadi (sotAoo)
  • sore dhadi (sorAe)
  • milo dhadi (milAo)

Menawa huruf bA, gA, dA, nA, mA ana tambahan ya Upami :

  • (bA) dhadi (byA)
  • (gA) dhadi (gyA)
  • (dA) dhadi (dyA)
  • (mA) dhadi (myA)
  • (nA) dhadi (nyA)
  • (wA) dhadi (yA)

Kalimat :

  • Banyuwangi dhadi (ByAnyuwangAi)
  • Kembang gadhung dhadi (kembyAng gyAdong)
  • Dhayuh dhadi (DyAyoh)
  • Omah dhadi (UmyAh)
  • Uwak dhadi (uyyA’)
  • Nonah dhadi (nonyAh)
  • Embah dhadi (embyAh)

Saliyane iku, akeh ukara-ukara sing ora ditemokake ning dhialek Jawa ngendhi wae. Ukara-ukara iku akeh sing asale saka Basa Kawi, utawa Bali. Upami :

  • sing : ora
  • bojog : kethek
  • sira : ing Banyuwangi sira iku padha artine karo kowe (ngoko)
  • isun : aku, ing Jawa liyane isun utawa ingsun kalebu kromo
  • ring, nong : ing, ning
  • nono : ora ana
  • sawi : pohung
  • sawen: sawi
  • Klendhi kabare? (kawaca : Klendhi kabyare?) : Piye kabare?

yen diwalik dadi Kabare klendhi? pangucapane dhadi : kabyAre klendAi?

  • Ono paran? : Ana apa?
  • Gedhigi (kawaca : gedigAi) : mengkene, ngene
  • Gedhigu (kawaca : gedigAu) : mengkono, ngono

Ana maneh, ukara-ukara sing asale saka bahasa Inggris. Jaman Walanda biyen, akeh tuan tanah saka Inggris sing manggon ning perkebunan-perkebunan utamane ning tlatah Glenmore, Kalibaru lan Genteng. Dhadi pengaruhe Basa Inggris mlebu ning cara Using. Upami :

  • sulung (saka ukara so long) : dhisik
  • nagud (saka ukara no good) : ora becik

Kahanan Basa Using saiki lan variasine

Basa Using saiki ditetepke kalebu mata ajaran ning sekolah dasar lan sekolah lanjutan tingkat pertama sa’ Banyuwangi. Sejatine wis dicoba mulai taun 1997 lan dibarengke karo mata ajaran Basa Jawa. Iki pratamane diajarke ning sekolah-sekolah sing kalebu tlatah cara Using. Basa utawa cara Using dhewe saben kecamatan ana bedhane. Using sing digawe ning kecamatan-kecamatan ning lor Banyuwangi cara pangucapane tansah kuna ketimbang cara Using ning kecamatan-kecamatan ning kidul.

BUPATI BANYUWANGI JADI TERSANGKA KORUPSI

TEMPO Interaktif, Jakarta:Kejaksaan Agung menetapkan Bupati Banyuwangi Ratna Ani Lestari sebagai tersangka kasus dugaan korupsi Bandara Banyuwangi. Ratna ditengarai turut bertanggung jawab atas kerugian negara sekitar Rp 19,76 miliar.

“Dia meneruskan apa yang dilakukan bupati sebelumnya,” ujar Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Marwan Effendy, Jumat (29/8), di kantornya, Jakarta.

Kasus korupsi ini terkait dengan dugaan korupsi dalam pengadaan lahan lapangan terbang (lapter) Banyuwangi. Dan sebagai ketua pengadaan tanah, Ratna dituding turut terlibat dalam penggelembungan harga tanah tersebut.

Sebelumnya, kejaksaan telah menetapkan tujuh orang tersangka dalam kasus ini. Salah satunya adalah bekas Bupati Banyuwangi Syamsul Hadi yang menjabat dari tahun 2002 hingga 2005. Pada kurun waktu tersebut, Kejaksaan Agung menuding Syamsul menggelembungkan harga tanah hingga merugikan negara sebesar Rp 21,23 miliar. Kerugian ini berlanjut pada periode 2006 sampai 2007 sebesar Rp 19,76 miliar. Sehingga, total kerugian negara dalam kasus itu mencapai Rp 40 miliar.

Ratna yang menjabat sebagai Bupati Banyuwangi periode 2006 sampai 2007 pun kemudian dituding turut bertangung jawab. Menurut Marwan, Ratna ditetapkan sebagai tersangka sejak Kamis (28/8) lalu. Dengan demikian, jumlah tersangka kini menjadi delapan orang.

Anton Septian

Sumber : TEMPO

G-Land, surga peselancar dunia

banyuwangi_survingDideretan pantai di semenanjung blambangan terdapat pantai yang indah dan menarik, banyak orang biasa menyebutnya dengan G-Land atau plengkung, tempat wisata ini bukan hanya menjadi konsumsi para wisatawan lokal akan tetapi telah menjadi pilihan menarik bagi wisatawan manca. sebegitu menarikkah G-Land? hingga pesonanya mendunia. sebenarnya pesona alam apa yang ada didalamnya?


Plengkung dikenal sebagai pantai terbaik untuk surfing di dunia, nama plengkung juga disebut dengan G-Land, huruf G berasal dari kata Grajagan, nama dari sebuah teluk yang memiliki ombak yang besar. G-Land dikelilingi oleh hutan tropis yang masih alami. G-land menawarkan olahraga surfing yang paling digemari oleh para surfer professional.


Kapan Bulan terbaik untuk Surfing ?

Diantara 12 bulan kalender, bulan mei sampai oktober adalah bulan-bulan terbaik untuk surfing, karena dibulan ini akan ditemui panjang dan ketinggian ombak yang maksimal, sesuai catatan panjang gelombang dapat mencapai 2 kilometer. Maka tak diragukan lagi bahwa G-Land merupakan surga bagi para peselancar.


Kemudian bagaimana tentang akomodasi yang disediakan ?

Dilokasi wisata pantai ini telah tersedia Cottage dan juga jungle camp dekat pantai.

Bagaimana mencapai Pantai Plengkung atau G-Land ?

Pantai plengkung terletak di pantai selatan Banyuwangi, ujung timur Jawa timur. Para pengunjung dapat mencapai pantai ini dengan dua jalur ; lewat darat maupun darat dan laut.

  1. Lewat darat : Banyuwangi – Kalipahit ( 59 km) dengan kendaraan angkutan umum bus, Kalipahit – Pasaranyar ( 3 km ) dengan ojek atau sewa mobil. Pasar anyar – Trianggulasi – Pancur ( 15 km ), Pancur – Plengkung ( 9 Km ) dengan mobil khusus. Jadi jarak total dari Banyuwangi kota - Plengkung kurang lebih mencapai 86 km.
  2. Lewat Darat dan laut : Banyuwangi – Benculuk ( 35 km ) naik bus atau kendaraan umum lainnya, Benculuk – Grajagan ( 18 km ) dengan kendaraan umum, Grajagan – Plengkung menggunakan Speedboat.

Kedua jalur menuju plengkung tersebut semuanya tidak masalah. Jika pengunjung memilih melalui grajagan. Penginapan di pantai grajagan juga telah tersedia. Dan para pengunjung bisa menikmati keindahan pantai grajagan sebelum berangkat ke pantai Plengkung.

Kebanyakan dari para peselancar berangkat dari Bali, melalui Banyuwangi langsung ke G-Land atau ke Grajagan, kemudian menyewa Speedboat menuju ke plengkung.

Silahkan datang dan nikmati keindahan salah satu obyek wisata unggulan Kabupaten Banyuwangi, sekaligus tempat wisata unggulan Jawa Timur ini, kami menyambut anda dengan tangan terbuka, ramah dan tulus…