Jumat, 12 September 2008

Situs Kendeng Lembu, Peninggalan Pra Sejarah di Glenmore


Kapak Batu dan Gerabah Merah Diteliti Balai Arkeologi

Tim peneliti Balai Arkeologi Jogjakarta meneliti Situs Kendeng Lembu di Desa Karangharjo Kecamatan Glenmore, Banyuwangi. Mereka melanjutkan penelitian Prof Dr. Raden Panji Soedjono yang dilakukan 22 tahun lalu.

ALDILA AFRIKARTIKA, Banyuwangi

------------

Tim peneliti Balai Arkeologi itu tidak langsung berangkat ke Desa Karangharjo. Mereka juga sempat mampir di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Banyuwangi Rabu (10/9) kemarin.

Koordinator tim Balai Arkeologi, Sofwan Noerwidi didampingi oleh Priyatno Hadi menggunakan kostum khusus peneliti berwarna coklat muda. Hem coklat itu bertuliskan Balai Arkeologi Jogjakarta. Mereka membawa peralatan tulis dan kamera. Mereka juga menyempatkan diri melihat replika rumah khas Using dan Museum Blambangan. Tim juga mengamati batu peninggalan zaman dulu di belakang kompleks kantor Disbudpar.

Tim peneliti itu sempat berbincang-bincang dengan pejabat dan staf Disbudpar Banyuwangi. Tim yang dipimpin oleh Sofwan Noerwidi, Priyatno Hadi, Didik Santosa, Teddy Setyadi, Slamet Widodo, dan satu peneliti Geo Arkeologi, Agus Tri. Mereka akan mencari dan meneliti benda peninggalan pra sejarah, kapak batu dan gerabah warna merah. Mereka juga menelusuri Austronesia, manusia yang berada di kepulauan selatan. Banyak pertanyaan yang harus dipecahkan. Misalnya, mulai kapan Austronesia itu tiba? Sejak kapan mereka bertani? Mulai kapan mereka mengenal beternak? Dan seterusnya.

Sofwan mengatakan, penelitian ini merupakan kelanjutan penelitian sebelumnya. Beberapa tahun lalu, peneliti Belanda, Van Heekeren sudah melakukan penelitian serupa di Kendeng Lembu. Selanjutnya p[ada tahun 1986, Prof. Dr. Raden Panji Soedjono dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional sudah meneliti situs Kendeng Lembu ini.

Kali ini, para arkeolog itu akan meneliti permulaan neolitik atau mulai kapan masa bercocok tanam ini masyarakat Austronesia. Selain itu, situs Kendeng lembu juga ditemukan banyak kapak batu dan gerabah merah. ''Setelah 22 tahun, kami melakukan penelitian ke situs ini lagi. Penelitian ini meneruskan penelitian Profesor Pandji Soedjono tahun 1986 lalu,'' kata Sofwan.

Situs Kendeng Lembu memiliki keterkaitan dengan asal usul Bangsa Indonesia. Temua kapak batu dan gerabah merah di Indonesia paling banyak ditemukan di Situs Kendang Lembu Banyuwangi dan Situs Kalumpang, Sulawesi Selatan.

Setibanya di Banyuwangi, tim arkeolog itu tidak langsung menemukan kapak tersebut. Mereka baru menemukan sisa permukiman zaman pra sejarah. Sedangkan untuk monumental keagamaan dan yang lainnya, masih belum ada temuan lagi. ''Tim kami berada di sini hingga tanggal 19 September 2008,'' ujarnya.

Penelitian ini sangat penting bagi Bangsa Indonesia. Banyuwangi memiliki keanekaragaman budaya dan alam, serta memiliki peranan sejarah yang sangat besar bagi bangsa ini.

Pelaksana tugas Kepala Disbudpar Banyuwangi, Hadi Sucipto mengakui bahwa Banyuwangi kaya akan Sumber Daya Alam. Pada daerah tertentu memiliki peninggalan sejarah maupun pra sejarah. ''Kini kita akan mengumpulkan dana, agar bisa melakukan penelitian untuk rumah sendiri,'' pungkasnya.

Budayawan Banyuwangi Slamet Oetomo mengatakan, Bumi Blambangan ini memiliki segudang peninggalan sejarah. Banyak pula situs yang layak untuk diteliti. Namun sayang, situs-situs sejarah tersebut dirusak oleh masyarakat sendiri. Mereka merusak akibat ketidak tahuan akan sejarah. Sehingga, Balai Arkeologi yang lebih memahami akan melakukan penelitian sendiri. ''Hal itu, bisa mengangkat nama Banyuwangi di Indonesia bahkan di dunia internasional. Saya berterima kasih kepada tim Balai Arkeologi,'' tuturnya.

Slamet menambahkan, masyarakat Banyuwangi kurang mendukung adanya situs-situs sejarah yang ada. Contoh kecilnya situs Macan Putih di Kecamatan Kabat. Masyarakat sekitar tidak bisa bahu membahu untuk memasarkannya sekaligus bagaimana cara merawatnya. Selain itu, kendalanya yakni para budayawan di Banyuwangi pecah menjadi dua. Ada yang budayawan reformasi dan budayawan oposisi. Sehingga masyarakat juga kurang menerima informasi dari pada budayawan. ''Alangkah lebih bijaknya jika para budayawan duduk bersama. Karena masih banyak situs di Banyuwangi yang tidak tersentuh,'' jelasnya.

Slamet menambahkan, tingkat akademis masyarakat Banyuwangi sangat kurang. Sebagian warga juga pernah bilang, buat apa belajar sejarah. Alasannya hanya menghabiskan waktu dan menghabiskan uang. Padahal, sejarah itu sangat penting demi kemajuan Banyuwangi dan anak cucu kita. (bay)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

He lare kadung riko duwe komentar nang isun ojo sungkan-sungkan tulisen paran anane baen ya !