Kamis, 04 September 2008

Watu Dodol

Pantai yang Menyimpan Pesona, Mistik, dan Sejarah Banyuwangi



Bila
Anda hendak ke Bali melalui jalur utara Pulau Jawa, sebelum tiba di
Banyuwangi Anda akan melewati Watudodol. Letaknya di pinggir pantai,
ditandai dengan patung Gandrung, icon Banyuwangi.

BILA Anda tidak ingin berlama-lama di Banyuwangi, sebaiknya sempatkan
mampir ke Watudodol. Banyak hal yang menarik di sini. Selain patung
Gandrung dan pantainya yang indah, pulau Bali terlihat dari sini. Anda
bisa melihat feri menyeberang dari pelabuhan Ketapang ke Gilimanuk.
Mampirlah ke pantainya, di sepanjang jalan terdapat banyak orang
berjualan. Anda juga bisa mandi di pantainya, atau berlayar dengan
perahu nelayan.



Di
salah satu bibir pantai ada keajaiban. Mungkinkah sebuah sumur tawar
ada di pinggir pantai? Aneh tapi nyata, di Watudodol, ditemukan sumber
air tawar. Rasanya tidak asin ataupun antak. Kalau pasang, air bisa
masuk ke dalam sumber air ini, tapi airnya tetap tidak asin. Agar tidak
terlalu sering terkena air pasang, warga setempat membuatkan pembatas
yang dibuat jadi semacam sumur. Jadi bagi mereka yang ingin mengambil
airnya bisa menggunakan timba.

Masyarakat Bali bila menjelang hari suci seperti Waisak, selalu
memenuhi tempat ini. Bukan cuma warga Bali, mereka yang datang dari
berbagai penjuru tanah air menyempatkan diri datang ke sumur ini untuk
mengambil air sumur tawar itu. “Banyak yang percaya, air itu bisa
menyembuhkan rematik atau penyakit lainnya,” ujar Siti yang sudah
berdagang di sekitar itu selama 5 tahun ini.



Patung Gandrung adalah salah satu tempat yang tidak bisa Anda lupakan
ketika Anda ingin berfoto. Fondasi patung yang berada di atas pantai
ini sudah selesai tahun 2003 lalu. Tetapi pembuatan patung Gandrung
baru selesai sekitar akhir 2004 lalu. “Yang mahat 3 orang, 1 orang
Banyuwangi, 1 orang Jawa Tengah, dan 1 orang dari Bali,” lanjut Bu
Siti. Proses pengerjaannya memakan waktu 3 bulan. Salah satu pelukisnya
bernama Wayan, warga Bali yang tinggal di Banyuwangi.

Bu Siti ternyata juga mengetahui model yang dipakai untuk patung. “Itu
mbak Dila, anaknya pak Jaksa. Tapi foto anaknya lebih cantik dari
patungnya. Kalau hidungnya sama,” kata Bu Siti, satu-satunya penjual
bakso dan rujak yang paling dekat dengan patung Gandrung. “Dulu warung
saya persis di bawah patung itu. Karena diambil Pemda, saya pindah ke
mari (di pinggir jalan, red),” lanjutnya.



Batu Besar

Jangan
dulu buru-buru pulang atau pergi ke Bali, sebelum Anda melihat ada
sebuah batu besar yang terletak persis di tengah jalan di Watudodol tak
jauh dari patung Gandrung. Batu ini mirip dodol. Rupanya batu yang
tinginya kira-kira setinggi tiang listrik merupakan muasal wilayah itu
disebut Watudodol. Mungkin karena bentuknya yang seperti dodol.

Batu ini menjadi unik karena memiliki sejarah sendiri dan cerita mistik
di dalamnya. Daerah ini pernah dijadikan sebagai tempat pertahanan dan
perlidungan tentara Jepang ketika Perang Dunia II. Karena dianggap
mengganggu, batu yang berdiameter sekitar 10 pelukan orang dewasa ini
oleh tentara Jepang pernah hendak dipindahkan. Namun, walau sudah
puluhan orang dikerahkan untuk memotong batu tersebut agar bisa
digulingkan, tidak membawa hasil. Lalu Jepang memutuskan memindakan
batu itu dengan ditarik kapal. Ternyata sang batu tetap saja tak
bergeming. Kabarnya malah kapal yang menarik itu tenggelam.

Selain mengunjungi sumur air tawar, orang Bali khususnya para sopir
truk sering berhenti di Watudodol untuk memberikan persembahan di batu
ini, seperti kembang, buah-buahan, uang dan sebagainya.



Di samping pesona keindahan dan mistik, Watudodol menyimpan catatan
sejarah yang menarik. Watudodol adalah pintu gerbang ke wilayah paling
timur pulau Jawa. Bala tentara bisa masuk dari sini menuju ke selatan
(Jember) atau ke arah barat (Situbondo).

Tanggal 14 April 1946, Belanda ingin mengadakan percobaan pendararatan
di Ketapang, tapi berhasil dihalau oleh tokoh masyarakat Banyuwangi di
antaranya Pak Nusahra. Ketika Belanda akan mencoba mendarat di pantai
Meneng dan pelabuhan Ketapang, pada 20 Juli 1947, Belanda kembali
gagal, karena mendapat perlawanan meriam yang gigih dari pasukan
Indonesia di bawah pimpinan Mayor R. Abdul Rifai. Esoknya, Belanda
kembali berusaha merebut Watudodol dengan mengerahkan pesawat tempur,
tapi kembali terpukul setelah kapal mereka berhasil ditenggelamkan.

Jika Anda lapar atau ngantuk serta bermaksud hendak menginap, di
Watudodol Anda bisa mampir di restoran dan hotel di sekitar itu.
Tarifnya berkisar antara Rp 100.000 sampai Rp 200.000.



Dari
Watudodol, sekitar 2 kilometer Anda sudah sampai di pelabuhan Ketapang.
Kalau Anda ada di feri yang menuju ke Gilimanuk, ketika ada sinar
matahari, Anda bisa menyaksikan anak-anak dan pemuda yang mata
pencahariannya berenang menunggu lemparan uang logam atau kertas.
Kemudian mereka berebut untuk mengambilnya. “Yes no, yes no....,” ujar
pemuda di sana, yang artinya (karena pengetahuan bahasa Inggirs mereka
minim) bukan “ya-tidak, ya-tidak”, melainkan “lemparin duit dong!”

Sumber: SuaraMerdeka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

He lare kadung riko duwe komentar nang isun ojo sungkan-sungkan tulisen paran anane baen ya !