Kaligis didampingi tiga staf dan Kabag Humas Pemkab, Abdullah menggelar langsung jumpa pers di Pendapa Sabha Swagata Blambangan kemarin.
Bupati Ratna melalui Kaligis menepis, bahwa proses pengadaan lahan tahun 2006 dan 2007 terjadi kemahalan harga yang menyebabkan terjadinya kerugian negara Rp 19 miliar. Dia menilai, pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap pembebasan lahan lapter tahun 2006 dan 2007 sangat dipaksakan dan tendensius.
Kaligis juga menyerang balik BPK yang telah melaukukan pemeriksaan terhadap proses pengadaan lahan lapter 2002 hingga 2007. Menurut Kaligis, hasil temuan dan pemeriksaan BPK itu tidak benar dan merupakan kebohongan publik. "Sehingga sangat merugikan klien kami yaitu Bupati Banyuwangi Ratna Ani Lestari," ujarnya.
Menurut Kaligis, pemeriksaan BPK masih menggunakan Keppres N0 55 tahun 1993, tentang pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum. Padahal, Keppres 55 itu sudah dinyatakan tidak berlaku sebagaimana disebutkan dalam Surat Departemen Keuangan melalui Dirjen Pajak kantor PBB Banyuwangi tanggal 13 April 2006.
Selanjutnya, sebut Kaligis, aturan hukum untuk pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan menggunakan Keppres 36/2005. Pada tahun 2006, peraturan pelaksanaan menggunakan peraturan Kepala BPN Nomor 3/200 juga telah diubah dengan terbitnya Peraturan Presiden (Pepres) Nomor 65/2006.
Kaligis mengungkapkan, dalam pasal 15 ayat 1 huruf a Perpres 65/2006 disebutkan, dasar penghitungan besarnya ganti rugi didasarkan atas Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) atau nilai nyata dari yang sebenarnya dengan memperhatikan NJOP berjalan, berdasarkan penilaian tim penilai harga yang ditunjuk panitia. Dalam pasal 28 ayat 2 Peraturan Kepala BPN Nomor 3/2007 juga disebutkan, bahwa tim penilai harga tanah melakukanm penilaian harga tanah berdasarkan pada NJOP atau nilai nyata dan berpedoman pada beberapa variabel.
Menurut Kaligis, tingginya harga tanah di lokasi lapter pada tahun 2006 dan 2007 dipengaruhi oleh variabel peruntukan tanah tersebut. Karena tanah itu akan digunakan untuk pembangunan lapangan terbang.
Selain menggunakan Keppres yang sudah tidak berlaku, jelas Kaligis, BPK dalam pemeriksaannya juga tidak pernah melakukan pemeriksaan ke lapangan dan hanya berpatokan pada Keppres 55/1993 yang jelas-jelas tidak berlaku lagi. "Jadi tidak benar, kalau klien kami telah melakukan kebijakan yang mengarah pada merugikan negara sebesar Rp 19,766 miliar," bantahnya.
Dalam proses pembebasan lahan lapter 2006, panitia yang dibentuk Bupati sudah melakukan beberapa kali musyawarah dengan pemilik lahan. Awalnya, pemilik lahan pembuka harga sebesar Rp 65 ribu per meter persegi dan pihak panitia menawar Rp 55 ribu. Namun pihak petani menolak tawaran itu dan hanya menurunkan harga menjadi Rp 60 ribu. "Panitia kemudian menawar lagi menjadi Rp 57.500, namun pihak petani menolak. Dan akhirnya harga disepakati Rp 60 ribu," jelas Kaligis.
Sedangkan untuk pengadaan tahun 2007, kata Kaligis, kliennya juga sudah membentuk panitia dan telah melakukan musyawarah dengan pihak petani. Awalnya, pihak petani membuka harga dalam kisaran Rp 200 ribu, Rp 100 ribu, Rp 90 ribu dan Rp 85 ribu permeter persegi. Pihak panitia menawar sebesar Rp 66 ribu, namun pemilik tanah menolak harga tawaran itu. Setelah beberapa kali musyawarah, maka dicapai kesepakatan harga yaitu sebesar Rp 70 ribu. "Pihak pemilik tanah sampai sekarang tidak ada yang keberatan melepas lahannya kepada panitia," cetusnya.
Menurut Kaligis, penatapan kliennya sebagai tersangka salah sasaran. Walau sebagai bupati, namun kliennya tidak melakukan langsung perbuatan yang dianggap merugikan negara. "Pembayaran uang ganti rugi bukan klien kami yang melakukan. Tapi ditransfer langsung ke rekening para pemilik tanah dan tidak ada potongan apa pun," katanya. (afi/bay)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
He lare kadung riko duwe komentar nang isun ojo sungkan-sungkan tulisen paran anane baen ya !